Follow Us @curhatdecom

Kamis, 24 Oktober 2019

Berdamai Dengan Keguguran Bagian 2

Mereka Lahir Menggemaskan


Tidak lama setelah teman-teman suami pulang (sekitar jam 1an) gue bilang ke suami sakitnya semakin menjadi-jadi. Rasanya beda, tapi suami menenangkan bilang itu Cuma sugesti. Gue minta panggilkan suster tapi suami menolak, buat apa katanya. Karena dia sudah beberapa kali panggil suster gak di apa-apain Cuma dibilang suruh sabar.

Oke baiklah mungkin gue hanya sugesti. Mungkin gue hanya pingin ke kamar mandi buat pup. Oke gue minta bantu di papah ke kamar mandi (kondisi semakin lemah soalnya). Pas duduk di kloset gue merasa ada yang mendorong keluar bukan dari dubur tapi dari vagina. Akhirnya setengah berteriak gue suruh suami panggil suster segera.

Begitu suster sampai gue diomelin karena bukannya istirahat malah jalan-jalan (Hei! Biar cepet bukaan Tau!). Gue bilang ada yang mau keluar, dijawab “belum bu bukaan masih separuh”. Gue di paksa rebahan kembali. Ya Allah jangankan rebahan, baru nempelin bokong di bibir ranjang aja udah kayak duduk di atas duri-duri tajam. Akhirnya dipaksakan naik ranjang di bantu dua suster. Tapi dorongan yang gue rasakan semakin kuat. Antara marah dan putus asa gue jerit “Ini ada Yang mau Keluaaaaar!” barangkali kalau gue jerit mereka mau mendengarkan.

Akhirnya karena ramai (entah gimana pasien sebelah mendengarkan) suster-suster lainnya berdatangan membantu. Akhirnya mereka sepakat membawa gue ke ruang bersalin, mereka mempersiapkan gue dengan segera. Tapi waktu itu akhirnya “SPLASH” ketuban gue pecah saat beberapa suster sedang merapihkan selimut mau dipakaikan ke gue. Beberapa suster menjerit “Yaaaaaah” karena kecipratan. Di depan gue ada jam, gue lihat waktu itu jam satu atau dua kurang gitu.

Segeralah ranjang gue didorong ke ruang bersalin. Saat itu gue mulai merasakan dorongan lagi. Kali ini masa bodo dengan aba-aba para suster itu. Gue pakai aba-aba sendiri aja. Sebel di suruh tahan-tahan terus. Pada saat mau di angkat ke ranjang bersalin satu bayi gue lahir.

Pelan-pelan gue di angkat ke ranjang bersalin, juga dengan bayi pertama. Di ranjang bersalin tidak lama kemudian bayi yang kedua juga mendorong keluar dan lahir. Baru kemudian di susul placentanya.

Baca Juga : Berdamai Dengan Keguguran Bagian 1

Apa yang gue rasakan setelahnya adalah lega yang luar biasa. Sesaat gue bengong karena ada energi besar yang baru saja terlepas. Tapi gue masih bisa merasakan suster-suster yang sibuk membersihkan sisa darah. Mendengar gerutuan mereka saat membersihkan lantai yang kotor (hei masih ada pasien loh ini. Jangan sampai gue tulis di form keluhan konsumen ya). Mendengar printah suster ke suami untuk membawakan baju ganti (setelah bersalin pakai baju sendiri). Mendengar suster komplain ke suami karena saat diminta pembalut malah ngasih pempers dewasa (kami preparenya memang itu. Lebih praktis dan gampang dipakai). Katanya pampers dewasa gak higienis (Ya kali masa gue bakal pakai itu seharian, gak sampai sejam juga paling ganti. Dan bener aja pakai pembalut melahirkan yang lebar banget itu sampai ruang rawat gak lama bocor mengotori seprei. Dan mba suster lagi-lagi kesel). Padahal waktu lahiran di Banjarmasin gue langsung di pakaikan pampers dewasa.

Tidak lama setelah bayi-bayi itu lahir sebetulnya gue sempat mendengar percakapan para suster (mungkin juga basic mereka bidan) yang menyimpulkan apa yang dialami si kembar. Salah satu bayi lehernya terlilit tali pusar. Sementara sisa tali melilit tali pusar saudaranya sehingga mirip seperti tali tambang yang terpintal. Jadi kemungkinan besar inilah yang menyebabkan keduanya meninggal. Terlebih mereka satu plasenta. Kembar Identik.

Setelah berganti pakaian (masih di ranjang bersalin) gue memaksa melihat kedua bayi gue. Suster sempat melarang habis lahiran takut ibunya masih lemes. Tapi entah bagaimana gue sangat segar setelah itu. Dan itulah saat pertama dan terakhir gue melihat si kembar. Bentuknya yang belum sempurna membuat mereka sulit untuk digendong, dipeluk dan dicium.





Keduanya perempuan, besarnya tampak berbeda. Tapi memang sesuai hasil USG, beda sekitar 100 gram. Yang satu kalau gak salah 440 gram, yang satu 510 gram. Yang terlilit leher sepertinya bayi yang lebih kecil. Setelah itu keduanya di kafani dan suami mengurus dokumen dan pemakamannya. Sementara gue kembali ke ruang opname.


Introspeksi Diri Lewat Umi


Apa yang gue lakukan setelah melahirkan? Kalau katanya gue disuruh tidur, istirahat. Gue gak bisa tidur sama sekali. Suami pergi memakamkan si kembar. Bapak dan mama mertua juga ikut. Si kembar di makamkan di Munjul dekat dengan rumah orangtua gue. Selain scrolling medsos, membaca wa-wa yang masuk (tapi tidak membalas) muncullah Umi. Orangtua dari sahabat gue semasa SMP. Rumahnya memang tidak jauh, beliau datang mewakili teman gue yang merantau di Kalsel.

Entah bagaimana, bersama Umi mengalir begitu saja apa yang sedang gue alami, apa yang gue pikirkan, dan apa yang gue rasakan.

Baca Juga : Berdamai Dengan Luka

Bersama beliau gue sempat mengutarakan kalau punya anak sebetulnya capek. Makanya pengen punya anak deket-deketan. Target 3 aja, biarin deh kecilnya bareng. Gedenya bareng. Mereka masuk sekolah emaknya bisa eksplorasi diri dengan berbagai kegiatan diluar rumah. Jadi rencananya setelah lahiran si kembar mau “tutup pabrik”. Fokus dengan 3 anak saja.

Sempat juga terpikirkan selama hamil si kembar ini banyak hal yang gue risaukan dan justru membuat gue seperti “GAK PUNYA TUHAN”. Gue mulai berhitung dengan cost nya, popok yang dua kali lipat. Belum lagi susu Gaza yang sebulan bisa 1,5jt sendiri. Gaza juga masih pakai popok. Trus makannya, trus perlengkapannya dsb. Hei gue lupa gue punya Allah! Gue lupa Allah sudah menyiapkan rezeki untuk setiap jiwa! Gue lupa untuk bersyukur!

Umi juga mengingatkan, bahwa gak seharusnya gue membatasi jumlah anak. Ber-KB boleh untuk memberi jarak anak, bukan membatasi jumlahnya. Itu namanya melawan takdir Allah. Astagfirullah...

Setelah Umi pulang rasanya seperti ada beban yang lepas begitu aja dari pikiran dan hati gue. Nasi yang tadinya males gue sentuh, akhirnya dengan lahap gue makan. Teman SMP lainnya (waktu SMP kita emang se-Genk dulu) berikutnya datang. Membawa Ayam goreng suharti satu ekor utuh (Sungguh ini adalah bawaan saat jenguk orang sakit yang gak biasa, gue sampai suami berkesan banget). Malah bela-belain balik lagi ke atas setelah pamit Cuma gara-gara bawain milo dingin karina gue cerita kepingin dan nungguin suami hihihi.
Sama temen gue itu gue masih bisa ketawa-ketawa karena emang bener-bener lega setelah curhat sama Umi. Semua ada hikmahnya... dan tentunya ada alasan Allah mengirim dan mengambil lagi si kembar. Salah satunya mungkin untuk memberikan gue pelajaran agar tidak jadi “atheis” alias gak percaya Tuhan.

Saat musibah terjadi rasanya pasti sangat berat. Tapi disuatu hari bisa kita kenang dan baru kelihatan hikmahnya. Saat ini gue sedang mengeja satu persatu hikmah dari Allah atas kepergian si kembar.


Setelah semua itu... 

Satu hal yang paling gue syukuri saat semua ini terjadi adalah punya suami yang suport. Suami adalah garda terdepan seorang istri untuk bisa menjadi wanita kuat. 

Selama ini gue berusaha menyibukkan diri dengan banyak hal. Paling banyak sih sibuk dengan urusan pindah rumah dan mengurus Gazaro. Banyak menghabiskan waktu di dapur buat nyoba resep ini itu. Bahkan open order mochi juga bagian dari usaha menyibukkan diri. 

Setiap orang punya cara sendiri untuk bertahan, ataupun melewati segala ujian. Dan gue kadang suka kembali down saat ada yang bilang "urusin Gaza tuh jangan mochi mulu, kurus banget anak lo!"

Ayo laaaah... Biarkan gue bahagia. Ibu yang hatinya bahagia akan bisa membahagiakan anggota keluarga nya.  Jangan sampai statment kita membuat ibu menjadi monster bagi keluarganya.  Saking lelahnya mendengar bacotan orang ibu bisa stress dan melampiaskan ke anak-anak dan suaminya. 

Kalau kalian melihat orang yang pernah kehilangan sedang melow berlebihan bisa jadi ada beban yang belum lepas sehingga dia butuh bantuan. Atau bisa juga memang dia hanya rindu. Coba deh dengerin lagu yang Andmesh-Hanya Rindu.

Insyaallah... saat ini gue sudah ikhlas dan menerima kenyataan. Tapi memang yang berat dari proses ini adalah RINDU. Dan mengikhlaskan bagi gue lebih mudah daripada Rindu. Tapi setiap orang punya proses nya masing-masing. Butuh spare waktu yang berbeda satu dengan yang lain. Punya cobaan hidup yang tak sama satu dengan yang lain. Bisa jadi musibah orang satu dengan lainnya mirip, tapi dengan latar belakang pendidikan, lingkungan dan situasi yang membersamainya musibah itu bisa jadi terasa tidak sama satu dengan yang lainnya.

Jadi bisa jadi cobaan yang kalian hadapi tidak lebih mudah terasa jika gue yang merasakan. Begitupun sebaliknya. Dan mohon maaf jika dalam tulisan ini ada orang-orang yang merasa, semoga bisa jadi bahan introspeksi bersama. Empati itu gak susah, tapi perlu dilatih. Dan tolonglah, gue sendiri sudah merasa bersalah. Jadi gak perlu menambahkan dengan menyalahkan gue yang pecicilan saat hamil (hamil ketiga ini boro-boro pecicilan, kejadian terjadi malah pada moment gue kalem sekalem-kalemnya), tahanlah diri untuk bertanya karena kepo (kalau peduli dan empati pasti gak kepo tapi mendoakan).

Gue sama sekali gak menyalahkan kalian, jadi please jangan gosipin (gue bukan artis gak usah di bahas lambe_mu) dengan bikin praduga-praduga sambil nyalah-nyalahin gue ya.

Terima kasih yang sudah wa menghibur, mendoakan dalam diam, lewat wa maupun komen di postingan-postingan sosmed gue. Doa yang baik-baik semoga kembali ke kalian.

Buat teman-teman yang sedang berjuang punya anak, yang pernah mengalami keguguran juga atau yang sekedar pernah melihat orang sekitar mengalami hal serupa. Semoga tulisan ini bermanfaat.


Masyaallah... lega sekali setelah menuliskan ini. Kadang emosi marah dan air mata kembali terpanggil. Tapi rupanya karena mereka selama ini di anggap tak ada. Baru ketahuan ada setelah di tuliskan...

1 komentar:

  1. Masyaallah mbak ikut sedih bacanya. Mengingatkan aku akan seorang teman yang mengalami keguguran 5 kali, entah bagaimana rasanya. Sekarang alhamdulillah sy lagi hamil 2 bulan, awalnya sy berharap kembar karena ingin sekali punya anak banyak, jarak anak pertamapun jauh 7 tahun. Tapi memang betul ya resiko kembar itu double, sedikasih Allah aja.. bener dibalik semua kejadian itu pasti ada hikmahnya, hikmah itu mahal. Setidaknya anak2 kini sudah menjadi bidadari surga 😊

    btw aku gemes juga sama tim medisnya yg gak sabar. Dulu waktu melahirkan anak pertama bida pembantunya gak sabaran bgt persis ky cerita mu tapi akhirnya bidan senior datang dan bawa pengaruh positif ke saya akhirnya bisa normal.

    BalasHapus