sumber gambar : Pixabay |
04.20 adalah waktu yang ditunjukkan jam di kamar rumah gue
di Pamulang. Saat terbangun bantal gue sudah basah oleh air mata. Gue sendiri
terbangun oleh air mata itu. Air mata yang disebabkan oleh mimpi yang aneh,
tapi justru saat bangun membuatku menangis sejadi-jadinya.
Sudah beberapa tahun belakangan gue seperti melakukan “ritual
mengingat mimpi”. Bertahun-tahun silam entah penulis mana yang mengatakan “cobalah
mengingat apa mimpimu malam ini saat terbangun, kadang itu bisa menjadi sebuah
inspirasi menulis.” Berkali gue coba, banyak mimpi aneh yang gue rasa bisa jadi
tema cerita fiksi yang hebat. Tapi malam ini, ternyata mimpi itu menyadarkan
gue pada luka yang mungkin gue abaikan.
Apalah mimpi itu? Terkadang hanya sebuah bunga tidur kan?
Entah bagaimana sisi psikologisnya, mungkin salah satu dampak yang terbawa dari
alam bawah sadar (gak paham juga, coba yang paham bisa komen dan kasih
pendapat). Karena bertahun-tahun sudah gue pun menjalani terapi gangguan jin,
mimpi bertemu makhlus adalah salah satu tanda seseora harus di ruqyah. Entah
bagaimana mimpi gue barusan adalah sebuah pintu masa lalu yang terbuka.
Entah bagaimana mimpi ini dimulai. Intinya gue dalam mimpi
adalah gue dalam tubuh gue dewasa. Gue bahkan sudah punya Gaza. Ada si
menggemaskan itu dalam mimpi gue. Kalau tidak salah ingat gue pindah ke dekat
rumah orangtua gue. Hanya saja suami gue tidak ada dalam mimpi, digambarkan
suami gue belum nyusul karena pekerjaannya.
Selesai beres-beres gue punya rencana mau membuat dua
indomie goreng dan segelas susu coklat panas untuk melepas lelah sisa pindahan.
Saat merebus air, gue kehabisan indomie. Setelah nyalain kompor, gue lari ke
warung terdekat (yang entah bagaimana penjualnya adalah tetangga sebelah gue di
Pamulang saat ini yang memang punya kios).
Saat gue kembali, air yang gue rebus mau dipakai dulu
sebagian untuk bikin susu coklat. Ternyata air sudah mendidih, tapi susu coklat
habis. Gue taruh indomie di samping kompor, dan pergi ke warung lagi. Saat gue
kembali, gue melihat ada kawat besi menyembul menjadi urat besar di kaki Gaza.
Yang entah bagaimana gue inget, gue yang pasang itu kawat besi agar Gaza bisa
berdiri kuat.
Gue pikir, gue akan selesaikan urusan indomie dan susu
coklat baru setelahnya gue akan urus kaki Gaza, gue mau ambil aja semua kawat
besi itu. Tapi tiba-tiba muncul kakak kedua gue. Dan dia tanya siapa yang masak
air panas? Karena lihat indomie disampingnya, dia berinisiatif untuk memasak indomienya
(niatnya mau bantu). ½ mie dari satu bungkus sudah di tuang, baru dia kemudian
berpikir untuk memastikan. Makanya dia ngomong di ruang tengah yang ramai orang,
dan gue auto marah. Itu air kan mau di pakai buat nyeduh susu dulu baru sisanya
buat masak indomie. Kalau udah di tuang mie duluan kan berarti harus rebus air
lagi. Dan pacinya harus di cuci dulu, jadi ribet. Dan yang bikin gue marah
adalah, RUSAKNYA RENCANA YANG GUE BUAT.
Entah kenapa sejak kecil gue memang anak yang suka membuat
perencanaan memang. Tapi mood gue akan hancur berantakan jika ada satu saja
yang berjalan tidak sesuai rencana. Terutama perusaknya adalah orang lain.
Itulah kenapa gue lebih suka kerja sendiri daripada kelompok. Karena gue benci
jika ada perusak struktur yang gue buat.
Akhirnya karena kesal, niat membuat indomie dan susu coklat
gue batalkan. Jangan tanya hancurnya mood gue gimana. Gue akhirnya malah sibuk
battle robot apalah gitu (yang bisa keluar dari kartu-kartu. Mirip
kartun-kartun gitu) untuk mengalihkan hancurnya mood gue. Masa bodo dengan
semua bahan yang ada di dapur.
Trus gue inget dengan Gaza, akhirnya anak itu yang entah
bagaimana gue merasa itu adalah Umaro (meski gue panggil Gaza) gue bawa ke
kamar untuk cabut kawat besi diam-diam. Karena gue pasti kena amuk masa karena
ketahuan pasang kawat besi ke anak sendiri (jangan tanya kenapa gak gue bawa ke
dokter). Mungkin karena gue takut di serang “emak macam apa itu pasang kawat
besi ke badan anak sendiri).
Baru kawat sebelah kanan yang berhasil gue tarik, yang entah
kenapa tidak mengeluarkan darah maupun bikin anak itu gak nangis. Padahal gak
pakai bius. Oh iya entah gimana pas gue mau bawa gaza ke kamar gue di lantai
atas, keponakan-keponakan gue muncul 4 orang, tapi itu bukan keponakan gue yang
biasa. Mereka adalah anak-anak dari sutradara Hanung Bramantyo.
Karena gue buru-buru mau cepet eksekusi kaki Gaza anak-anak
itu gue suruh keluar. Dan bukannya keluar mereka malah semakin jadi. Akhirnya
setelah salah satu gue jitak, baru mereka keluar dengan wajah sedih. Entah
kenapa diri gue sendiri bahkan mau bilang “lo ringan tangan banget pit, mukul
anak orang lagi.
Nah pas gue mau lanjut cabut kawat kaki kiri, kakak kedua
gue muncul. Dia membahas tentang indomie tadi. Katanya gue lebay Cuma masalah
sepele gitu aja dibesar-besarkan. Ternyata dia bete karena akhirya di suruh
mama minta maaf. Dan bukannya minta maaf dia malah nyalahin gue terus begini
begitu lebay dan sebagainya. Akhirnya karena kesal gue pun teriak-teriak. Gue
bilang bukan indomienya, tapi gue benci ada yang merusak rencana gue.
Gak lama kakak pertama gue datang. Dengan suara yang ceria khasnya
dia tanya kenapa gue ribut hterus. Kasihan mama di bawah sedih. Gue yang entah
gimana lagi pegang ceres warna warni kesal dan menyiram itu ke badan kakak
pertama gue “Bukan urusan lo! Dan gak usah pura-pura peduli. Urus masalah lo
sendiri, justru lo yang setiap hari bikin mama sedih.”
Trus kakak gue tadi yang sudah gue duga Cuma pura-pura ramah
wajahnya berubah marah. Dia lempar juga ceres yang lagi dia bawa ke badan gue
(ini kenapa jadi perang ceres sih). Trus gue ketawa, “Bego, itu ceres yang gue lempar
gue gak beli. Jadi gak rugi gue. Kalau lo kan itu ceres beli sendiri.” Gak
terima dia rugi sendiri, dia bongkar bahan kue gue dan nyari bahan yang bisa di
buang biar satu sama.
Dia hampir buang kacang gue, tapi gue cegah. Terjadilah
keributan besar yang mengundang Bapak datang. Bapak marah-marah karena kami
kakak beradik kenapa ribut terus. Akhirnya bapak manggil satu persatu, mau
memberikan wejangan. Sebelum mulai bapak menyebut nama kami satu persatu dengan
disertai kalimat yang sama. Tibalah saat bapak menyebutkan bagian gue “Pita...
kamu tahu kan bapak sayang kamu.” Tiba-tiba gue nangis dan terbangun. Kata-kata
itu seperti simbol kuat Bapak yang sebenarnya. Seperti ya memang itu yang ingin
disampaikan bapak dan mungkin juga mama sebagai orangtua kepada anak-anaknya.
Saat sadar entah kenapa yang gue lakukan bukannya istighfar,
malah lanjut menangis bahkan sampai sejadi-jadinya.
Mimpi itu seperti menggambarkan kejadian masa kecil, tapi
denga tubuh kami yang sudah dewasa seperti sebuah isyarat bahwa kami tumbuh
menjadi orang dewasa namun terjebak dengan luka masa kecil kami.
Setelah puas menangis dan merenung, masih dengan isak tangis
tertahan (takut Gaza terbangun) gue coba berdoa. Mumpung sepertiga malam, “Ya
Allah... betapa banyak luka pengasuhan yang aku miliki sejak kecil. Karenanya
aku tumbuh penuh luka hati, yang belum terobati. Aku menerimanya sebagai takdir
hidup yang harus kujalani ya Allah. Aku menerima adanya luka masa kecil itu.
Tapi saat ini, setelah proses penerimaan itu, aku mohon lapangkan jiwaku.
Sembuhkan lukaku. Biarkan semua itu menjadi bagian masa lalu yang hadir untuk
menjadikan ku manusia kuat.”
Banyak luka masa kecil yang bahkan berlanjut sampai sekarang
yang membuat gue berpikir “keluarga gue gini amat yak”. Tapi gue tahu kok di
luar sana banyak kisah keluarga yang tidak lebih baik dari gue. Karena gue
paham sejatinya Allah menakdirkan garis hidup yang berliku agar manusia itu
belajar, terlatih, merenung dan kembali pada tujuan sejatinya.
Luka adalah sebuah “masalah” yang harus kita sadari dan
terima keberadaannya. Bukan sesuatu yang harus kita abaikan, karena kalau
begitu bukannya sembuh luka itu bisa jadi bom waktu. Pertama kali gue menyadari
adanya luka masa kecil gue adalah tahun 2015 akhir atau 2016 awal saat suami
membawa gue mengikuti sesi terapi hypnosis untuk menyembuhkan phobia terhadap
jarum suntik. Saat itu gue sedang hamil Umaro, anak surga kami. Tujuan terapi
ini agar gue siap menghadapi persalinan yang pastinya ketemu alat-alat medis,
salah satunya jarum suntik.
Tapi ternyata begitu banyak luka yang muncul, yang membuat gue
merasa satu jam sesi itu kurang. Tapi membayar 500 ribu rupiah setiap sesi juga
bikin pusing. Kebetulan terapisnya adalah ustadz yang bisa Ruqyah juga. Sesi
yang berjalan bisa dibilang nano-nano. Kadang muncullah sesi dimana kadang jin
yang muncul, kadang luka masa kecil gue yang muncul.
Terapisnya berkata, bahwa terlalu banyak luka masa kecil
yang terabaikan. Sembuhkan itu dulu, baru nanti bisa terurai benang kusut
sampai pada penyembuhan phobia jarum suntik. Luka masa kecil yang terabaikan
itu juga salah satu penyebab emosi gue yang meledak-ledak katanya. Dan saat
emosi gue gak stabil, memang adalah celah jin menguasai tubuh gue (kesurupan).
Gue paham sepenuhnya bahwa kondisi gue sebetulnya
membutuhkan penanganan profesional. Tapi biaya menjadi problem ketakutan gue
berikutnya. Gue gak mau membebankan suami. Akhirnya yang gue lakukan adalah
terus merenungi diri. Terus bertanya pada diri gue sendiri, tentang apa saja.
Karena kadang itu yang membuat kita sadar, hal tak terduga yang ternyata
tersimpan di alam bawah sadar.
Selain itu gue juga membaca banyak tulisan tentang kisah
hidup orang lain, atau tentang jati diri atau inner child dan artikel lain yang
relevan lah. Curhat dan diskusi dengan teman-teman yang memang punya basic ilmu
psikologi dan passion dengan itu juga gue lakukan.
Menulis juga menjadi cara gue melepaskan apa yang gue
pikirkan. Kalau hanya memikirkannya, semua itu hanya menjadi benang kusut dalam
kepala. Menulis membantu gue mengurai satu persatu benang itu sehingga ketemu
masalah dan solusinya.
Berdoa, adalah cara kita berkomunikasi dengan Dia yang
menitipkan kita segala masalah ini. Barangkali selain untuk membentuk kita, Dia
hanya ingin kita terus berkomunikasi dengan-Nya untuk itulah masalah demi
masalah hadir.
Namanya juga hidup, masalah pasti selalu ada. Yang terlupa
dari pengasuhan dari masa ke masa adalah setiap manusia itu lahir dengan
membawa fitrah. Fitrah manusia adalah menjadi orang baik. Jadi sejatinya
masalah hidup seberat apapun, harus membawa kembali kita menjadi orang baik.
Kembali mengutip pesan senior di FLP saat beliau menjabat
sebagai Ketua Umum, Mba Sinta Yudisia. “Ikhlas itu diawal, ditengah, dan diakhir...”
maka sejatinya ikhlas itu harus terus di upgrade.
Jika kita sudah ikhlas dan menerima luka masa lalu, bisa
jadi seiring berjalannya waktu luka itu datang lagi. Bukan berarti belum
sembuh, hanya saja mungkin flash back saja. Oranglain tidak pernah tahu apakah
kita sudah sembuh atau belum, hanya diri sendiri yang benar-benar tahu. Jadi Sebelum
bertanya pada orang lain “apa kabar?” tanya diri sendiri terlebih dahulu “Apa
kabar diriku? Apa perasaanmu hari ini?”
Masa kecil... Apapun
yang terjadi saat itu, gue menerima dan merelakan semuanya...
Pamulang, 12/07/2020
06.05 WIB
Sebagai pengingat agar
gue tetap ikhlas diawal, ditengah dan diakhir
Masya Allah... Semoga Allah mudahkan semua proses penyembuhannya... Peluk...
BalasHapus