Setiap pagi, saat gue menatap wajah polos Gaza yang sedang
tertidur rasanya ada kedamaian sekaligus luka yang menampar. Entah berapa kali
gue membuat anak ini terluka hatinya. Entah karena ajakan bermainnya selalu gue
tolak karena kesibukan mengurus rumah seorang diri. Dan yang paling gue sadar
(meski dia mungkin belum paham) adalah luka karena gue terus “menuntut” dia menjadi
seperti anak-anak yang lain.
Menjadi ibu jaman sekarang itu “tidak mudah”. Tapi gue yakin
setiap ibu memiliki suka duka berbeda pada kondisinya dan masanya. Bagi gue
pribadi kesulitan menjadi ibu saat ini adalah karena banyaknya informasi yang “terlalu
mudah” di akses. Apakah bagus ada banyak informasi seputar tumbuh kembang anak?
Oh bagus donk. Tapi buat gue pribadi itu seperti pedang bermata dua.
Di satu sisi gue terbantu bahwa ada milestones anak yang harus
terpenuhi agar tumbuh kembang anak optimal. Tapi disatu sisi saat anak gue gak mencapai
“target” ada ketakutan. Bahkan ajang melihat rumput tetangga “anak
tetangga” yang udah bisa ini itu gue jadi jiper dan stress. Ini anak gue yang “kurang”?
Atau emaknya yang males kasih stimulasi? Atau “anak tetangga” yang terlalu
jenius???
Informasi seputar stunting pun sebetulnya bagus, untuk
mecegah hal buruk terjadi pada anak terkait gizi. Trus gue yang punya anak
bertubuh mungil (yang katanya makanan dihabisin emak bapaknya yang gendut)
lagi-lagi merasa insecure. Melihat orang dewasa yang punya tubuh pendek diluar
sana, langsung mau nangis. Akankah anakku nantinya pendek, trus gimana nanti
masa depannya??? (padahal orang pendek tapi tetap sukses juga banyak)
Sejak kecil hal yang paling gue benci dari perlakuan
orangtua gue adalah seringnya mereka membanding-bandingkan gue dengan anak
tetangga. Si A bisa pulang jam sekian kok kamu telat terus, si B nilainya
selalu segini kok kamu gak bisa, si C... Si D... Si F... dst sampai gue gumoh.
Tapi entah karena itu semacam luka masa kecil yang gue belum bisa berdamai
dengannya atau karena memang ternyata segini khawatirnya saat menjadi orangtua
akhirnya gue sendiri sering membadingkan anak sendiri dengan anak orang lain.
Bedanya (gak tau nanti semoga gak terjadi) gue gak pernah sampai tercetus
kalimat secara verbal. Hanya dalam hati saja.
Gue terus belajar untuk menerima dengan terus mensugesti
diri dengan bilang “setiap anak spesial dengan kelebihan sepaket dengan
kekurangan yang dibawa”.
Tapi ternyata godaan dari luar kadang mematahkan benteng
pertahanan gue. Ada aja lah komentar “anak lo kok kurus, si anu anaknya gendut.”
Atau “Anak lo belum bisa jalan? Dulu waktu lo bayi jalan umur berapa tahun? Ada
hubungannya loh sama genetik.” Atau “kok belum bisa ngomong, dulu waktu bayi lo
mulai bisa ngomong usia berapa?” dst
Mendapat pertanyaan-pertanyaan macam itu gue langsung auto insecure... Lagi-lagi gue merasa jadi
ibu yang gak becus, gak bisa kasih makan, gak bisa merawat, males stimulasi
anak, atau bahkan parahnya gue berpikir gue ini bego! Yes, gue merasa anak gue
kemampuan berpikirnya karena emaknya aja bego, kan katanya kecerdasan anak di
wariskan dari genetika ibu. Apa seharusnya orang bego macam gue gak usah kawin
dan punya anak yak? Daripada melahirkan anak-anak yang sama begonya sama gue.
Kalau udah kumat muncul deh perasaan kok anak gue gak kayak
si A...B...C...D... dst. Dan kalau udah mulai banding-bandingkan gini gue
merasa kotor, berdosa dan gak fair. Apa bedanya dengan yang orangtua gue dulu
lakukan ke gue??? Kalau Gaza tau dia pasti sedih.
Lalu... gue berpikir...
Gaza... anak lucu yang tidak pernah merepotkan saat
digendong karena gak terlalu berat itu tidak pernah bisa memilih menjadi anak
siapa. Gaza... Anak yang baru bisa berjalan usia 14,5 bulan tapi langsung
lancar tanpa tertatih itu tidak pernah bisa memilih menjadi anak siapa. Gaza...
Anak yang usia 2,5 tahun baru mulai berkomunikasi langsung dengan kosakata yang
banyak dan lucu itu tidak pernah bisa memilih menjadi anak siapa... Dan meski
dia tidak bisa memilih, dia tetap menerima gue sebagai ibunya.
Sosok yang harus ada saat bangun dan akan tidur. Sosok yang
selalu dicari saat sedih dan terluka. Sosok yang dicari untuk berbagi air minum
yang baru dituangkannya sendiri dalam gelas. Sosok yang selalu ingin dipeluk
dan diciumnya. Itulah gue... Ibunya yang dia cintai apa adanya...
Lalu gue berpikir, kenapa gue gak bisa mencintai dia apa
adanya??
Ketahuilah nak...
mencintaimu apa adanya adalah proses panjang seorang ibu. Tapi Bundaro akan
selalu berusaha untuk melalui proses itu. Karena kamu layak diperjuangkan untuk
memperoleh cinta apa adanya dari Bundaro...
Pamulang 08/07/2020
Huaa auto mewek inget anak bayik ku
BalasHapusAah amuh... Bikin melted...
BalasHapus