Follow Us @curhatdecom

Rabu, 08 Juli 2020

Anakku, Mencintaimu Apa Adanya adalah Proses Seumur Hidup


Setiap pagi, saat gue menatap wajah polos Gaza yang sedang tertidur rasanya ada kedamaian sekaligus luka yang menampar. Entah berapa kali gue membuat anak ini terluka hatinya. Entah karena ajakan bermainnya selalu gue tolak karena kesibukan mengurus rumah seorang diri. Dan yang paling gue sadar (meski dia mungkin belum paham) adalah luka karena gue terus “menuntut” dia menjadi seperti anak-anak yang lain.

Menjadi ibu jaman sekarang itu “tidak mudah”. Tapi gue yakin setiap ibu memiliki suka duka berbeda pada kondisinya dan masanya. Bagi gue pribadi kesulitan menjadi ibu saat ini adalah karena banyaknya informasi yang “terlalu mudah” di akses. Apakah bagus ada banyak informasi seputar tumbuh kembang anak? Oh bagus donk. Tapi buat gue pribadi itu seperti pedang bermata dua.

Di satu sisi gue terbantu bahwa ada milestones anak yang harus terpenuhi agar tumbuh kembang anak optimal. Tapi disatu sisi saat anak gue gak mencapai “target” ada ketakutan. Bahkan ajang melihat rumput tetangga “anak tetangga” yang udah bisa ini itu gue jadi jiper dan stress. Ini anak gue yang “kurang”? Atau emaknya yang males kasih stimulasi? Atau “anak tetangga” yang terlalu jenius???

Informasi seputar stunting pun sebetulnya bagus, untuk mecegah hal buruk terjadi pada anak terkait gizi. Trus gue yang punya anak bertubuh mungil (yang katanya makanan dihabisin emak bapaknya yang gendut) lagi-lagi merasa insecure. Melihat orang dewasa yang punya tubuh pendek diluar sana, langsung mau nangis. Akankah anakku nantinya pendek, trus gimana nanti masa depannya??? (padahal orang pendek tapi tetap sukses juga banyak)

Sejak kecil hal yang paling gue benci dari perlakuan orangtua gue adalah seringnya mereka membanding-bandingkan gue dengan anak tetangga. Si A bisa pulang jam sekian kok kamu telat terus, si B nilainya selalu segini kok kamu gak bisa, si C... Si D... Si F... dst sampai gue gumoh. Tapi entah karena itu semacam luka masa kecil yang gue belum bisa berdamai dengannya atau karena memang ternyata segini khawatirnya saat menjadi orangtua akhirnya gue sendiri sering membadingkan anak sendiri dengan anak orang lain. Bedanya (gak tau nanti semoga gak terjadi) gue gak pernah sampai tercetus kalimat secara verbal. Hanya dalam hati saja.

Gue terus belajar untuk menerima dengan terus mensugesti diri dengan bilang “setiap anak spesial dengan kelebihan sepaket dengan kekurangan yang dibawa”.

Tapi ternyata godaan dari luar kadang mematahkan benteng pertahanan gue. Ada aja lah komentar “anak lo kok kurus, si anu anaknya gendut.” Atau “Anak lo belum bisa jalan? Dulu waktu lo bayi jalan umur berapa tahun? Ada hubungannya loh sama genetik.” Atau “kok belum bisa ngomong, dulu waktu bayi lo mulai bisa ngomong usia berapa?” dst

Mendapat pertanyaan-pertanyaan macam itu gue langsung auto insecure... Lagi-lagi gue merasa jadi ibu yang gak becus, gak bisa kasih makan, gak bisa merawat, males stimulasi anak, atau bahkan parahnya gue berpikir gue ini bego! Yes, gue merasa anak gue kemampuan berpikirnya karena emaknya aja bego, kan katanya kecerdasan anak di wariskan dari genetika ibu. Apa seharusnya orang bego macam gue gak usah kawin dan punya anak yak? Daripada melahirkan anak-anak yang sama begonya sama gue.

Kalau udah kumat muncul deh perasaan kok anak gue gak kayak si A...B...C...D... dst. Dan kalau udah mulai banding-bandingkan gini gue merasa kotor, berdosa dan gak fair. Apa bedanya dengan yang orangtua gue dulu lakukan ke gue??? Kalau Gaza tau dia pasti sedih.

Lalu... gue berpikir...

Gaza... anak lucu yang tidak pernah merepotkan saat digendong karena gak terlalu berat itu tidak pernah bisa memilih menjadi anak siapa. Gaza... Anak yang baru bisa berjalan usia 14,5 bulan tapi langsung lancar tanpa tertatih itu tidak pernah bisa memilih menjadi anak siapa. Gaza... Anak yang usia 2,5 tahun baru mulai berkomunikasi langsung dengan kosakata yang banyak dan lucu itu tidak pernah bisa memilih menjadi anak siapa... Dan meski dia tidak bisa memilih, dia tetap menerima gue sebagai ibunya.

Sosok yang harus ada saat bangun dan akan tidur. Sosok yang selalu dicari saat sedih dan terluka. Sosok yang dicari untuk berbagi air minum yang baru dituangkannya sendiri dalam gelas. Sosok yang selalu ingin dipeluk dan diciumnya. Itulah gue... Ibunya yang dia cintai apa adanya...

Lalu gue berpikir, kenapa gue gak bisa mencintai dia apa adanya??

Ketahuilah nak... mencintaimu apa adanya adalah proses panjang seorang ibu. Tapi Bundaro akan selalu berusaha untuk melalui proses itu. Karena kamu layak diperjuangkan untuk memperoleh cinta apa adanya dari Bundaro...

Pamulang 08/07/2020

2 komentar: