"Apakah tidak cukup cinta saja sebagai pondasi pernikahan?"
Salah satu dialog dalam Film Test Pack terus terngiang di telinga saya. Banyak orang menikah karena saling mencintai. Kemudian di perjalanannya cinta itu pudar atau bercabang, tidak lama berpisah dengan alasan "sudah tidak ada kecocokan". Lantas jika saya tidak memilih menikah karena adanya rasa saling mencintai, alasan apa yang saya pilih untuk menikah?
Dulu, saya mendambakan pangeran berkuda putih (dalam kasus saya pangeran bersepedah ontel) datang menawarkan kehidupan happy ending seperti dalam dongeng-dongeng cinderella. Tapi seiring berjalannya waktu, menyaksikan orang-orang di sekitar saya menikah dan kemudian setelah itu banyak terjadi konflik, saya sadar ini bukan pernikahan cinderella. Sayangnya dongeng-dongeng yang ada hanya bercerita sampai pangeran menikah dengan cinderella dan di tutup dengan kalimat "akhirnya mereka pun hidup bahagia bersama, selama-lamanya".
Seiring waktu, konsep menikah dalam kepala saya mengalami perubahan. Dari sosok pangeran, kekasih hati, pendamping hidup, dan sekarang berada pada titik teman seperjuangan.
Menikah dalam konsep berpikir saya saat ini bukan semata karena tuntutan sosial. Pada alur (normal masyarakat) seseorang hidup, sekolah, kuliah, lulus, kerja, kemudian menikah, punya anak, punya cucu, dan seterusnya sampai menunggu adanya panggilan dari-Nya. Tapi toh orang-orang tidak selalu memiliki arus yang sama.
Jadi, kembali saya bertanya pada diri saya sendiri. Kenapa kamu ingin menikah?
Satu persatu jawaban masa lalu muncul. Tapi buru-buru saya koreksi dan eliminasi beberapa. Sampai pada kesimpulan yang sudah ada sejak dulu, bahwa pernikahan saya adalah sebuah misi dakwah. Dulu konsep dakwah dalam pernikahan masih abstrak di kepala saya. Namun sekarang Insya Allah sudah jelas.
Mungkin saya bukan ustadzah yang pergi dari satu pengajian ke pengajian yang lain. Dakwah tidak hanya di masjid. Dalam konsep dakwah saya, dakwah adalah menyebarkan kebaikan sebagai agen Islam (yaitu agama yang Rahmatan lil alamin). Sebagian orang ada yang melakukan dakwah sebagai aktivis Islam, turun ke jalan, menjadi 'guru' di lembaga-lembaga islam dsb.
Dengan aktifitas yang saya miliki sekarang, kriteria pendamping hidup mengalami perkembangan dengan sendirinya. Dari pemuda soleh yang kelak bisa membawa menuju Jannah-Nya, kriteria yang saya harap berkembang menjadi:
1. Soleh, yang ini jelas sudah harga mati. Karena saya ingin suami yang tidak pernah berhenti mengajak saya untuk terus mencintai-Nya.
2. Bertanggung jawab dan pekerja keras. Rezeki sudah ada Allah yang mengatur. Namun hanya akan di jemput oleh orang yang memiliki tanggung jawab dan mau bekerja keras.
3. Memiliki jiwa sosial. Karena repot juga kalau suatu hari nanti saat saya mau pergi bakti sosial suami bilang "Ngapain sih kamu repot-repot ngurus orang. Di rumah ajah!" dan saya hanya duduk di sudut dapur sambil mengelap air mata dengan Lap >.
Well, menikah sama kayak OVJ harus ada benang merah dengan pasangan. Benang merah ini bukanlah kesamaan hobi, makanan kesukaan dsb. Tapi kesamaan Visi dan Misi. Karena kalau sekedar kelebihan dan kekurangan, justru hadirnya pasangan hidup adalah untuk melengkapi.
Jadi menikah bagi saya adalah menemukan partener dakwah. Dimana saya bisa suport dakhwahnya dan begitu pun sebaliknya. Kami bisa saling berbagi dan bertukar pendapat. Jadi sampai menemukan yang tepat, saya akan setia menunggu...^^
***
@Kamar_Buku13 September 2012/ 10:33 PM
Salah satu dialog dalam Film Test Pack terus terngiang di telinga saya. Banyak orang menikah karena saling mencintai. Kemudian di perjalanannya cinta itu pudar atau bercabang, tidak lama berpisah dengan alasan "sudah tidak ada kecocokan". Lantas jika saya tidak memilih menikah karena adanya rasa saling mencintai, alasan apa yang saya pilih untuk menikah?
Dulu, saya mendambakan pangeran berkuda putih (dalam kasus saya pangeran bersepedah ontel) datang menawarkan kehidupan happy ending seperti dalam dongeng-dongeng cinderella. Tapi seiring berjalannya waktu, menyaksikan orang-orang di sekitar saya menikah dan kemudian setelah itu banyak terjadi konflik, saya sadar ini bukan pernikahan cinderella. Sayangnya dongeng-dongeng yang ada hanya bercerita sampai pangeran menikah dengan cinderella dan di tutup dengan kalimat "akhirnya mereka pun hidup bahagia bersama, selama-lamanya".
Seiring waktu, konsep menikah dalam kepala saya mengalami perubahan. Dari sosok pangeran, kekasih hati, pendamping hidup, dan sekarang berada pada titik teman seperjuangan.
Menikah dalam konsep berpikir saya saat ini bukan semata karena tuntutan sosial. Pada alur (normal masyarakat) seseorang hidup, sekolah, kuliah, lulus, kerja, kemudian menikah, punya anak, punya cucu, dan seterusnya sampai menunggu adanya panggilan dari-Nya. Tapi toh orang-orang tidak selalu memiliki arus yang sama.
Jadi, kembali saya bertanya pada diri saya sendiri. Kenapa kamu ingin menikah?
Satu persatu jawaban masa lalu muncul. Tapi buru-buru saya koreksi dan eliminasi beberapa. Sampai pada kesimpulan yang sudah ada sejak dulu, bahwa pernikahan saya adalah sebuah misi dakwah. Dulu konsep dakwah dalam pernikahan masih abstrak di kepala saya. Namun sekarang Insya Allah sudah jelas.
Mungkin saya bukan ustadzah yang pergi dari satu pengajian ke pengajian yang lain. Dakwah tidak hanya di masjid. Dalam konsep dakwah saya, dakwah adalah menyebarkan kebaikan sebagai agen Islam (yaitu agama yang Rahmatan lil alamin). Sebagian orang ada yang melakukan dakwah sebagai aktivis Islam, turun ke jalan, menjadi 'guru' di lembaga-lembaga islam dsb.
Dengan aktifitas yang saya miliki sekarang, kriteria pendamping hidup mengalami perkembangan dengan sendirinya. Dari pemuda soleh yang kelak bisa membawa menuju Jannah-Nya, kriteria yang saya harap berkembang menjadi:
1. Soleh, yang ini jelas sudah harga mati. Karena saya ingin suami yang tidak pernah berhenti mengajak saya untuk terus mencintai-Nya.
2. Bertanggung jawab dan pekerja keras. Rezeki sudah ada Allah yang mengatur. Namun hanya akan di jemput oleh orang yang memiliki tanggung jawab dan mau bekerja keras.
3. Memiliki jiwa sosial. Karena repot juga kalau suatu hari nanti saat saya mau pergi bakti sosial suami bilang "Ngapain sih kamu repot-repot ngurus orang. Di rumah ajah!" dan saya hanya duduk di sudut dapur sambil mengelap air mata dengan Lap >.
Well, menikah sama kayak OVJ harus ada benang merah dengan pasangan. Benang merah ini bukanlah kesamaan hobi, makanan kesukaan dsb. Tapi kesamaan Visi dan Misi. Karena kalau sekedar kelebihan dan kekurangan, justru hadirnya pasangan hidup adalah untuk melengkapi.
Jadi menikah bagi saya adalah menemukan partener dakwah. Dimana saya bisa suport dakhwahnya dan begitu pun sebaliknya. Kami bisa saling berbagi dan bertukar pendapat. Jadi sampai menemukan yang tepat, saya akan setia menunggu...^^
***
@Kamar_Buku13 September 2012/ 10:33 PM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar