Pagi
ini kuucapkan “Selamat Menempuh Hidup Baru” pada diriku sendiri. Bukan
lantaran aku telah melepas status sebagai anak kemudian berganti menjadi
seorang istri, atau bahkan yang lebih mengerikan aku telah bangun dari
kematian sementara.
Hari ini hari rabu. Tetapi rabu yang berbeda dengan rabu-rabu yang lalu. Sekarang pukul 07:44 WIB (saat aku menulis ini), tapi tentu saja pukul 07:44 WIB hari ini berbeda dengan 07:44 yang kemarin, kemarin lusa, seminggu lalu, sebulan, atau setahun lalu. Terima kasih pada sebuah peristiwa yang mengajarkan kepadaku bahwa hari ini adalah hari yang berbeda dari hari lalu, sehingga aku harus selalu mengucapkan “Selamat Menempuh Hidup Baru” pada diriku setiap harinya.
Kemarin aku boleh menangis pada suatu hal. Kemarin pula aku boleh tertawa karena suatu hal. Maka hari ini aku harus menorehkan sejarah baru agar setiap hari aku menempuh kehidupan yang baru. Yah kalau kata mutiaranya sih “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin”. Atau kalau kata hadist-nya merugilah orang yang hari ini sama dengan hari kemarin. Kemarin aku tersudut dan menangis, hari ini aku harus bahagia.
Baru kemarin aku menegarkan seorang sahabat saat dia sedang tersudut oleh keadaan yang mempertanyakan keikhlasan hatinya. Ku katakana padanya, bisa jadi ini adalah cara Allah mempertanyakan istiqomah dari keikhlasan itu. Kalau kerikil secuil itu saja sudah meruntuhkan idealismenya untuk terus memperjuangkan kemaslahatan umat, bagaimana dengan tantangan yang lebih besar.
Nyatanya sekarang aku juga tengah tersudut oleh keadaan yang mempertanyakan keikhlasan hati. Satu yang aku takutkan dalam melakukan langkah ku saat ini , bahwa semua ini hanya egoisku saja. Atau jangan-jangan semua ini adalah awal kesia-siaan.
Aku ingat saat duduk di bangku sekolah, ketika semua orang menghapal rumus matematika, aku mencoba menjawab soal dengan caraku sendiri. Entahlah, benar atau tidak jawabannya aku hanya mencoba menyelesaikan dengan caraku sendiri.
Mungkin aku terlahir di jaman dan tempat yang tidak sejalan dengan cara berpikirku. Hanya ada dua pilihan. Mengikuti “Mau Mereka”, atau mengikuti “Mauku” atau dengan kata lain “Kata Hatiku”.
Aku memilih yang kedua, dan bukan tanpa tantangan aku menjalaninya. Tekanan demi tekanan tentang cara “nyelenehku” dalam mengisi kehidupan ini terus berdatangan.
Aku punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap hidupku sendiri. Sebagai individu aku adalah makhluk tunggal yang punya tanggung jawab terhadap napas, jiwa, dan raga yang di beri Allah padaku. Dulu aku diam saja kehidupanku di arahkan dan di atur. Tapi sekarang aku ingin punya keputusan sendiri dalam hidupku.
Bukan kamu, dia, mereka atau siapapun yang akan ditanya tentang apa yang kulakukan di akhirat kelak bukan? Dan Insya Allah kalaupun di tanya sepertinya bukan seputar “Sudahkah kamu menikahkan anakmu/sahabatmu sebelum di labeli perawan tua oleh masyarakat?” atau “Sudahkah anakmu/sahabatmu menggunakan toga sebelum di labeli oleh universitas sebagai mahasiswa abadi?”
Setidaknya mungkin yang akan mereka tanyakan kepada kamu, dia, mereka adalah “Sudahkah kamu nikahkan anakmu kepada suami/istri yang baik agamanya?” atau “Sudahkah anakmu dibekali ilmu agama?” atau “Sudahkah kamu memastikan anak/sahabatmu/suami/istrimu tidak melakukan hal-hal yang melanggar perintah Allah?” atau “Sudahkah kamu mengingatkan anak/sahabatmu/suami/istrimu ketika dia telah keluar dari jalan Islam?” Entah benar atau tidak tapi yang aku yakini demikian.
Dalam hidup ini hanya ada dua kemungkinan, gagal atau sukses. Keduanya sama pentingnya bagiku. Kalau kamu sukses dan bertambah syukurku maka itu yang aku rasa Dia inginkan. Kalaupun gagal dan paham pula apa hikmah dari semuanya, maka itu juga yang aku rasa Dia inginkan. Gagal setelah mencoba, itu setidaknya baik untukku. Karena aku tidak ingin menjadi orang yang telah tersedia taxi di depan pintu untuk membawaku pergi mengejar apa yang aku cita-citakan tapi kemudian aku hanya berdiri di depan pintu sambil melihat supir taxi yang kesal pergi berlalu. Kemudian di masa tua saat orang-orang yang mengutuki cita-citaku sudah tidak lagi di sampingku, aku hanya duduk sendiri dan menyesali masa lalu. Di usiaku sekarang ini sudah terlalu banyak yang kusesali, dan aku tidak mau ada penyesalan lain yang menyusul kemudian.
Selamat menempuh hidup baru.Hari ini di dalam hati terdapat jiwa yang baru. Satu yang hanya perlu kau harapkan, yaitu menggapai Ridho-Nya. Maka semua itu telah tercukupkan bagimu.
Hari ini hari rabu. Tetapi rabu yang berbeda dengan rabu-rabu yang lalu. Sekarang pukul 07:44 WIB (saat aku menulis ini), tapi tentu saja pukul 07:44 WIB hari ini berbeda dengan 07:44 yang kemarin, kemarin lusa, seminggu lalu, sebulan, atau setahun lalu. Terima kasih pada sebuah peristiwa yang mengajarkan kepadaku bahwa hari ini adalah hari yang berbeda dari hari lalu, sehingga aku harus selalu mengucapkan “Selamat Menempuh Hidup Baru” pada diriku setiap harinya.
Kemarin aku boleh menangis pada suatu hal. Kemarin pula aku boleh tertawa karena suatu hal. Maka hari ini aku harus menorehkan sejarah baru agar setiap hari aku menempuh kehidupan yang baru. Yah kalau kata mutiaranya sih “hari ini harus lebih baik dari hari kemarin”. Atau kalau kata hadist-nya merugilah orang yang hari ini sama dengan hari kemarin. Kemarin aku tersudut dan menangis, hari ini aku harus bahagia.
Baru kemarin aku menegarkan seorang sahabat saat dia sedang tersudut oleh keadaan yang mempertanyakan keikhlasan hatinya. Ku katakana padanya, bisa jadi ini adalah cara Allah mempertanyakan istiqomah dari keikhlasan itu. Kalau kerikil secuil itu saja sudah meruntuhkan idealismenya untuk terus memperjuangkan kemaslahatan umat, bagaimana dengan tantangan yang lebih besar.
Nyatanya sekarang aku juga tengah tersudut oleh keadaan yang mempertanyakan keikhlasan hati. Satu yang aku takutkan dalam melakukan langkah ku saat ini , bahwa semua ini hanya egoisku saja. Atau jangan-jangan semua ini adalah awal kesia-siaan.
Aku ingat saat duduk di bangku sekolah, ketika semua orang menghapal rumus matematika, aku mencoba menjawab soal dengan caraku sendiri. Entahlah, benar atau tidak jawabannya aku hanya mencoba menyelesaikan dengan caraku sendiri.
Mungkin aku terlahir di jaman dan tempat yang tidak sejalan dengan cara berpikirku. Hanya ada dua pilihan. Mengikuti “Mau Mereka”, atau mengikuti “Mauku” atau dengan kata lain “Kata Hatiku”.
Aku memilih yang kedua, dan bukan tanpa tantangan aku menjalaninya. Tekanan demi tekanan tentang cara “nyelenehku” dalam mengisi kehidupan ini terus berdatangan.
Aku punya kewajiban dan tanggung jawab terhadap hidupku sendiri. Sebagai individu aku adalah makhluk tunggal yang punya tanggung jawab terhadap napas, jiwa, dan raga yang di beri Allah padaku. Dulu aku diam saja kehidupanku di arahkan dan di atur. Tapi sekarang aku ingin punya keputusan sendiri dalam hidupku.
Bukan kamu, dia, mereka atau siapapun yang akan ditanya tentang apa yang kulakukan di akhirat kelak bukan? Dan Insya Allah kalaupun di tanya sepertinya bukan seputar “Sudahkah kamu menikahkan anakmu/sahabatmu sebelum di labeli perawan tua oleh masyarakat?” atau “Sudahkah anakmu/sahabatmu menggunakan toga sebelum di labeli oleh universitas sebagai mahasiswa abadi?”
Setidaknya mungkin yang akan mereka tanyakan kepada kamu, dia, mereka adalah “Sudahkah kamu nikahkan anakmu kepada suami/istri yang baik agamanya?” atau “Sudahkah anakmu dibekali ilmu agama?” atau “Sudahkah kamu memastikan anak/sahabatmu/suami/istrimu tidak melakukan hal-hal yang melanggar perintah Allah?” atau “Sudahkah kamu mengingatkan anak/sahabatmu/suami/istrimu ketika dia telah keluar dari jalan Islam?” Entah benar atau tidak tapi yang aku yakini demikian.
Dalam hidup ini hanya ada dua kemungkinan, gagal atau sukses. Keduanya sama pentingnya bagiku. Kalau kamu sukses dan bertambah syukurku maka itu yang aku rasa Dia inginkan. Kalaupun gagal dan paham pula apa hikmah dari semuanya, maka itu juga yang aku rasa Dia inginkan. Gagal setelah mencoba, itu setidaknya baik untukku. Karena aku tidak ingin menjadi orang yang telah tersedia taxi di depan pintu untuk membawaku pergi mengejar apa yang aku cita-citakan tapi kemudian aku hanya berdiri di depan pintu sambil melihat supir taxi yang kesal pergi berlalu. Kemudian di masa tua saat orang-orang yang mengutuki cita-citaku sudah tidak lagi di sampingku, aku hanya duduk sendiri dan menyesali masa lalu. Di usiaku sekarang ini sudah terlalu banyak yang kusesali, dan aku tidak mau ada penyesalan lain yang menyusul kemudian.
Selamat menempuh hidup baru.Hari ini di dalam hati terdapat jiwa yang baru. Satu yang hanya perlu kau harapkan, yaitu menggapai Ridho-Nya. Maka semua itu telah tercukupkan bagimu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar