Saya rindu, rindu sekali. Bukan hanya merindukan riuhnya kota Jakarta, bukan hanya merindukan orangtua saudara dan teman-teman. Namun saya merindukan Cahaya. Lebih rindu lagi untuk melukis cahaya.
Melukis cahaya adalah istilah
yang saya sampaikan kepada teman-teman di Taman Bacaan Masyarakat (TBM) Rumah
Cahaya FLP Depok. Saya yakin tidak ada satupun pena ataupun pewarna yang
sanggup menghasilkan cahaya yang nyata. Maka bagi saya melukis cahaya adalah
melakukan sebuah kegiatan yang bermanfaat sehingga menjadi cahaya terang bagi
siapa saja.
Sejak tinggal di Banjarmasin ikut
dengan suami saya, saya tidak pernah berhenti “merengek” untuk segera membuka
taman bacaan kami sendiri. Banyak hal kami diskusikan bersama. Dari mulai
Bagaimana? Untuk apa? Dan sebagainya.
Bagi suami saya, hidup ini harus
bermanfaat dan terutama melakukan segala sesuatunya karena Allah. Artinya
setiap yang kita lakukan nantinya akan menjadi ibadah. Saya setuju, namun mengadakan
TBM dirumah saya memiliki
berbagai alasan.
berbagai alasan.
Diantaranya adalah menyediakan ruang baca untuk masyarakat dan
khususnya anak-anak. Sejak beberapa tahun silam saya bersama teman-teman mulai
aktif mengurusi TBM yang kebanyakan pesertanya adalah anak-anak. Dari situ juga
kemudian saya mulai mempelajari banyak ilmu parenting, salah satunya
mendongeng. Dongeng menjadi metode yang sangat ampuh menanamkan pesan moral
kepada anak-anak tanpa harus menggurui, dan bahkan lebih cepat diterima karena
disampaikan dengan cara yang fun.
TBM Rumah Cahaya FLP Depok memang
mengutamakan dongeng sebagai daya tarik dan strategi agar anak rajin berkunjung
ke TBM. Bahkan relawannya kini sudah berhasil menjadi pendongeng profesional
(salah satunya saya), dan menejemen dongeng yang ada menjadi tambahan sokongan
dana operasional TBM Rumah Cahaya FLP Depok.
Manfaat TBM lainnya adalah menjadi ruang pemberdayaan dan sekolah informal bagi
siapa saja yang datang berkunjung. Di Rumah Cahaya kami berbagi ilmu apa saja
yang kami miliki. Pelatihan mendongeng, kelas menulis anak, kerajinan daur
ulang, seminar parenting, dan lain-lain.
Dalam diskusi saya dan suami, ada
satu hal yang perlu diakui seseorang motivasi khusus seseorang berperan aktif
dalam melakukan kegiatan sosial. Yang kemudian saya akui, saya butuh sebuah
ruang untuk berbagi. Saya akui memang berorganisasi menjadi hobi saya sejak
duduk di bangku sekolah. Sehingga saya merasa membutuhkan wadah untuk
beraktifitas sosial kembali. Ah, jangan mengira suami saya ini orang yang suka
mengekang istri ya. Karena sebutlnya suami saya ini hanya sedang menguji saya.
Dalam diskusi kami saya sampaikan
kepada suami saya, bahwa saya ingin sekali dekat lagi dengan dunia anak-anak.
Melihat mereka membaca buku, bermain sambil belajar, mendengarkan saya
mendongeng. Dan yang utama adalah saya ingin melakukan perubahan.
Banyak orang mengeluhkan tindakan
anak yang kadang berada diluar kendali kita. Entah itu perkataan, tingkah laku
dan sebagainya. Faktor penyebabnya bisa karena keluarganya, atau bahkan
lingkungannya. Saya sendiri sudah capek mengeluh dan tidak ada perubahan. Maka
yang harusnya dilakukan adalah bertindak. “Itu kan tanggung jawab orangtuanya!”
kalau saya menjadi bagian dari orang yang mengatakan itu, maka saya akan
mengucapkan “Selamat mengeluh seumur hidupmu karena anak-anak itu” kepada diri
saya sendiri.
Bagaimana kita mengharapkan
perubahan jika kita sendiri tidak mengusakannya? Tanggung jawab anak-anak
adalah tanggung jawab kita bersama. Jika orangtuanya tidak mampu, maka mari
kita ambil peran orangtuanya dengan. Dengan cara sederhana saja, menjadi orang
yang disenangi anak-anak sehingga apa yang kita sampaikan kepada mereka
diterima dengan baik.
Jangan bicara hasil dengan saya,
namun proses. Ilmu parenting tidak ada yang instant. Semua butuh proses, kalau
mau instant siap-siap anaknya tumbuh jadi anak-anak instant. Bicara hasil biar
Allah saja yang menentukan dari ikhtiar yang kita jalankan. Kalau hanya
berpikir “Tuhan tidak butuh kamu untuk merubah seseorang. Tinggal bilang ku
fayakun saja hati seseorang bisa dengan mudahnya dibolak-balik” maka bisa jadi
saya diam saja. Tidak perlu beraksi.
Lantas apa perubahan sebelum dan
sesudah ada Rumah Cahaya? Gemar membaca sudah pasti, namun bonusnya juga
banyak. Anak-anak tidak lagi menggunakan kata-kata kasar dan kotor. Bahkan
sudah bisa menjadi alarm bagi temannya yang lain. Anak-anak peserta sekarang
banyak yang suka menulis, bahkan kini mampu mengekspresikan emosinya lewat
tulisan. Anak-anak jadi lebih percaya diri karena selama di rumah cahaya semua
anak mendapat perlakuan dan kesempatan yang sama. Dan masih banyak lagi.
Saya rindu melukis cahaya. Suatu
hari saya berharap bisa kembali melukis cahaya. Biar saya punya jawaban kalau
dipanggil Yang Maha Pencipta perkara apa yang dikerjakan selama hidup. Maka saya
akan jawab “Melukis Cahaya”.
Salam hangat dan sukses selalu untuk Sahabat Cahaya Di Rumah Cahaya FLP
Seluruh Indonesia. Ingatlah setiap masalah yang kita selesaikan tidak menambah
buruk diri, melainkan menambah kompetensi kita. Jangan pernah berhenti menebar
cahaya untuk anak-anak generasi penerus Indonesia.
@Kamar_Buku
21-08-2015
10:12 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar