Di hari kemerdekaan indonesia yang ke-70 ini usia pernikahan saya dan suami memasuki usia 7 bulan 6 hari. Usia yang masih terbilang sangat muda bagi usia pernikahan. Namun entah bagaimana dengan pernikahan orang lain, hanya saja saya merasa pernikahan kami begitu berat dijalani.
Sejak memutuskan tidak ingin
pacaran sebagai jalan memilih calon pendamping hidup, saya sempat dihinggapi
ketakutan akan menjomblo seumur hidup. Pasalnya saya merasa diri saya serba
kekurangan. Baik secara fisik maupun secara non-fisik. Hingga suatu hari salah
satu sahabat saya meninggal di usia muda, saya merenung. Kata orang ‘Manusia
terlahir hidup, mati, rezeki dan jodohnya sudah diatur oleh Dia Yang Maha
Pencipta’, saya setuju. Namun kata orang selanjutnya adalah ‘Jadi jangan takut
setiap orang ada jodohnya’, saya tidak setuju. Kemudian kata-kata ini meluncur begitu
saja dihati saya “Tuhan, jika memang tidak Engkau siapkan jodohku di dunia maka
biarlah. Mungkin yang Engkau inginkan adalah aku total mncintai-Mu saja tanpa
membaginya”.
Tidak lama setelah berucap
demikian, tawaran-tawaran untuk mencoba perkenalan secara Syar’i untuk menujuh
pernikahan yang disebut Ta’aruf datang kepada saya. Namun menikah urusan hati,
bukan urusan umur yang tidak lagi belia, atau sekedar urusan agar lebih mudah
menjawab pertanyaan “Kapan Nikah?”
Maka proses yang datang tidak
bisa begitu saja saya terima. Terutama bagi saya menikah adalah bersatunya dua
jiwa, dua keluarga, dua perbedaan, dan sebagainya. Terlebih saya ingin
mendapatkan suami yang sevisi misi dengan saya, bukan sekedar ingin menikahi
saya. Hingga akhirnya datanglah seorang pria keturunan Jawa yang jauh-jauh
datang dari Banjarmasin Kalimantan Selatan untuk menemui saya pertama kalinya
dengan membawa oleh-oleh kesukaan saya, Ikan asin hehehe (padahal saya gak
pernah cerita). Dan dipertemuan pertama tersebut dengan tegas beliau sampaikan
maksud untuk menikahi saya. Entah
bagaimana beliau begitu yakin menikahi saya, yang baru dikenalnya lewat
perbincangan lewat BBM dan sesekali telpon. Tapi lagi-lagi kata orang, seperti
itulah jodoh. Kita tidak tahu datang darimana, dengan cara apa dan siapa. Enam bulan
berikutnya kami menikah.
Saya masih ingat status facebook
yang saya tulis beberapa waktu sebelum menikah. “Saya tidak yakin dengan
menikah saya akan bahagia, sebab pernikahan bukanlah dongeng cinderella yang
setelah bertemu pangeran kita akan hidup bahagia selama-lamanya. Namun semoga
dengan pernikahan ini saya semakin mengenal cinta-Mu.”
Apakah sekarang saya bahagia?
Alhamdulillah saya bersyukur, bahagia? Ah cukuplah rasa syukur saya memenuhi
ruang-ruang dihati sehingga kata menyesal atau tidak bahagia tidak sempat
mampir. Ah, lagi-lagi kata orang “namanya juga pengantin baru”. Biarlah kata
orang demikian, saya hanya ingin bersyukur. Meskipun gangguan itu, ah iya
gangguan itu datang.
Entah bagaimana dengan pernikahan
orang lain, tapi saya dan suami merasa pernikahan kami benar-benar terasa
berat. Belumlah lagi urusan saling mengenal dan menyesuaikan diri, H+2 setelah
menikah gangguan itu datang...
@kamar_buku
17-08-2015
20:05 WITA
@kamar_buku
17-08-2015
20:05 WITA
Tidak ada komentar:
Posting Komentar