Follow Us @curhatdecom

Sabtu, 08 Oktober 2016

Belajar Jadi Orangtua Lewat Dunia Maya


Dulu gue pernah menulis sebuah status di FB kurang lebih bunyinya gini, "Wahai orangtua ketika kita salah mendidik anak maka kita telah menyumbangkan generasi yang nyebelin di masa yang akan datang". Kira-kira status itu muncul setelah gue nonton Criminal Mind. Mini seri tentang FBI yang memecahkan kasus kejahatan (pembunuhan) berantai dengan membuat profil tersangka lewat pola kejahatan yang dibuat.

Dari pola-pola tersebut bisa dibuat pemetaan profil tersangka yang ada hubungannya dengan masa lalunya (biasanya trauma masa kecil). Misal tersangka yang melakukan kekerasan dengan cambukan diduga masa kecilnya tidak jauh dari KDRT. Masa sih? Sadar gak sadar masa kecil yang tertanam di alam bawah sadar membuat kita adalah copy paste orangtua/lingkungan kita. Namun gue tetep yakin bahwa baik atau buruk tetap ada ditangan kita untuk memilihnya.

Mungkin kita pernah kecewa dengan pola asuh orangtua kita semasa kecil. Tapi bukan berarti yang buruk kita lanjutkan, dan bukan berarti tidak ada sedikitpun kebaikan yang bisa kita tiru. Tapi ketahuilah, menjadi orangtua tidak pernah ada sekolahnya. Pengalaman adalah guru terbaik bagi orantua kita dulu. Beda dengan kita saat ini. Dimana-mana sekarang sudah banyak seminar parenting, atau kalau memang tidak ada kita bisa aktif belajar dengan mencari ilmu parenting di dunia maya kok.

Sebelum jadi orangtua gue kira ngurus bayi cuma sekedarnya. Gue anggap pemberian sufor baik, gue anggap keponakan gue makan pisang usia sebulan normal (gue makan nasi malah kata Emak usia sebulan), gue anggap bayi bisa makan segala sampai ada yang nanya ponakan gue kok boleh makan cokelat pas gue posting di FB. Ternyata semua itu sebetulnya hal berbahaya buat bayi. Dan itu terjadi karena memang tidak ada sekolah untuk jadi orangtua (apalagi sekolah untuk menjadi tante hiks).

Foto Bersama peserta usai mengisi workshop "Dongeng Itu Mudah"

Tapi berkat internet gue yang gak pernah teredukasi tentang menyiapkan generasi berkualitas di usia 1000 hari pertamanya jadi tahu. Kenapa? Karena temen gue yang sudah lebih dulu jadi orangtua banyak share. Tentang bahaya-bahaya yang gue anggap sepele. Bukan cuma tentang nutrisi, tapi juga tentang stimulasi untuk bayi  sekarang sudah banyak di share lewat media sosial. 

Meski era sudah serba internet ini kadang ada ajah loh ilmu yang kelewat. Seperti beberapa waktu lalu gue menghadiri acara akikahan teman, anaknya di ditambah sufor karena katanya air susunya sedikit, anaknya laper. Aduuuuh, andai sebelum bayi lahir banyak membaca soal ASI pasti tahu deh kalau kebutuhan ASI bayi newborn sedikit banget. Gak sampe satu botol kok, wong lambungnya ajah masih sebesar buah cery belum sebesar duren. Gue menyayangkan karena kalau orang yang gak paham internet wajarlah. Tapi dengan smartphone di tangan harusnya bisa menambah wawasan kita.

Banyak sebetulnya yang bisa kita pelajari lewat internet. Hanya lagi-lagi tergantung kita mau bergerak maju atau tidak. Sekarang ajah mau jawab PR anak sekolah ajah tinggal main pakai jempol kok (pengalaman bantu PR keponakan dulu hihihi)

6 point yang terus harus dikampanyekan kepada orangtua oleh siapa saja menurut gue di antaranya adalah:

ASI adalah Nutrisi Pertama. Pemberian ASI eksklusif untuk bayi 0-6 bulan dan dilanjutkan dengan pemberian MP-ASI (Makanan Pendamping ASI) di usia 6 bulan-2 tahun adalah nutrisi terbaik untuk buah hati. Banyak sekali ilmu yang bisa kita pelajari. Dan proses memberi ASI menurut banyak penelitian bukan sekedar memberi makan. Melainkan proses pembentukan karakter sejak dini pada buah hati. Makanya penting untuk sebisa mungkin memberikan ASI langsung bukan dengan perantara dot dsb. 


Keluarga adalah Sekolah Pertama. Ciptakan lingkungan yang baik untuk anak dimulai dari rumah sendiri. Meski sekarang sudah bertebaran sekolah untuk anak bahkan saat masih bayi, sekolah terbaiknya tetap adalah rumahnya sendiri. 

Ibu adalah Guru Pertama. Jangan pernah gengsi dengan status Ibu Rumah Tangga bukannya Wanita Karir. Ibu, profesimu itu adalah pekerjaan yang tidak bisa dibayar dengan nominal berapapun. Namun akan terbayar lunas saat Ibu melihat anak tumbuh sehat, cerdas, dan sukses dikemudian hari. Jangan sedih ijazahmu tersimpan rapi di lemari, sebab Ibu menggunakan ilmunya bukan untuk jadi karyawan. Tapi untuk mendidik anak-anak.

Ayah adalah Kepala Sekolah Pertama. Jangan pernah bilang urusan anak jadi sepenuhnya urusan ibu wahai ayah. Tugasmu tidak kalah penting. Kepala sekolah yang baik tidak pernah diam saja di dalam kantor menerima laporan guru. Tapi juga terjun langsung untuk mendengar suara hati anak didiknya. Banyak penelitian yang menyebutkan bahwa ayah pun memegang peranan penting dalam tumbuh kembang buah hati. Bahkan seharusnya cinta pertama dari anak perempuan adalah Ayahnya. Dan idola pertama anak lelaki adalah ayahnya. Maka dari itu hadirlah dalam tumbuh kembangnya.


Cinta Kasih adalah Kurikulum Pertama. Menjadi orangtua jangan pernah gengsi untuk mengutarakan rasa sayang dan cinta pada buah hati. Sebab perasaan dicintai pada anak bisa berdampak besar kepada rasa percaya dirinya kelak. Anak akan tumbuh menjadi anak yang penuh cinta kasih karena perasaan dicintai.

Stimulasi adalah Pelajaran Pertama. Stimulasi atau bahasa mudahnya rangsangan sangat diperlukan bagi anak. Pernah dengar kan istilah berani kotor? Karena dari setiap proses stimulasi itulah anak belajar.



Apakah 6 point itu ada di daftar pelajaran kita sekolah dari SD sampai Kuliah? Pasti tidak ada kecuali kuliah yang memang jurusan tumbuh kembang anak. Tapi jangan sedih, di era digital sekarang semua ilmu itu sudah bisa di pelajari. Sudah banyak kawan-kawan yang juga punya semangat berbagi di luar sana yang berbagi lewat jejaring sosial atau blognya. Tugas orangtua kini hanya menjemput bola mencari ilmu itu

Dulu gue kira menjadi orangtua adalah mengajarkan anak, tapi sebetulnya manusia tidak pernah berhenti belajar. Sekarang tugas gue adalah terus belajar menjadi orangtua. Seperti yang gue bisikkan saat pertama kali menggendong tubuh mungil Umaro "Nak, kita sama-sama belajar ya. Kamu belajar tumbuh menjadi manusia yang baik, dan bunda belajar menjadi orangtua. Mohon Kerja samanya ya."

Setiap orang berhak menjadi generasi unggul. Dan setiap orangtua wajib mendidik putra-putrinya dengan baik.

10 komentar:

  1. Setuju pake banget sama poin satu sampai tiga. Keluarga sekolah pertama, ayah adalah kepala sekolah, kita adalah gurunya :D
    Aku juga biasanya melihat tentang parenting di internet,tapi sambil disaring juga sih. Hehe
    Kunjungan perdana, salam kenal yaa

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bener mba memang tetap harus di saring. Terutama pola pendidikan yang tidak mendasar dan pakai katanya2 gitu deh

      Hapus
  2. Mpit memang keren deh...mengedukasi diri dan pasangan sebagai ortu memang gak ada selesainya. Peran ortu memang penuh tantangan ya Mpit

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya mak, rasanya mau nangis kalau salah sedikit ajah ke Umaro. Karena bukan cuma tanggung jawab ke Allah yang berat, kalau salah didik umaro bisa merepotkan orang banyak hiks

      Hapus
  3. Iya banget. Gak perlu punya anak dulu sebenernya untuk bisa jadi orang tua yang baik. Banyak ilmu parenting bertebaran di dunia maya. Tapi ya gitu, teori kadang berbeda situasinya dengan keadaan nyata. Mau gak mau tetep aja harus disesuaikan dengan keadaan kita. Nice article!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Betul mba gak harus punya anak dulu. Saya dulu mengasuh ponakan2 sehingga saat punya anak sendiri gak kaku

      Hapus
  4. Yoi,ASI adalah makanan atau minuman dg komposisi terbaik di dunia dan ini pun diakui IDAI.sayang banget klo ada ibu yg sampaiwnyerah no ASI

    BalasHapus
    Balasan
    1. Kadang nyerahnya itu banyak faktor sih ya mba, tapi sangat di sayangkan memang

      Hapus
  5. Terima kasih saringnya mbak.
    Emang jadi ortu susah2 gampang, kudu belajar terus supaya bisa menemukan pola asuh dan mendidik yang tepat untuk diaarkan ke anak...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Meski gak ada sekolahnya jadi ortu memang ortu gak boleh berhenti belajar #ngingetinDiriSendiri

      Hapus